Toksin pada Angkak

Hallo!

Kali ini saya akan berbagi informasi mengenai mikotoksin citrinin yang terdapat pada angkak. Sebelum itu, apa kalian tahu angkak? Mungkin untuk teman-teman Tionghoa atau yang pernah menderita demam berdarah sudah tidak asing lagi dengan kata “angkak” ini. Umumnya, angkak dikenal sebagai obat demam berdarah dan juga campuran dalam masakan daging-dagingan (sebagai pewarna merah).

1502090229977
Sumber: Dok. Pribadi

Secara definisi:

Angkak merupakan produk fermentasi beras menggunakan ragi Monascus spp.

Fermentasi beras ini merupakan salah satu tradisi di Asia Timur yang digunakan sebagai makanan pokok dan bahan tambahan makanan.

Angkak dikenal juga sebagai beni-koji yang digunakan sebagai pewarna makanan di Jepang. Selain itu, masyarakat China, Taiwan, dan Philippines menggunakan angkak sebagai pengawet daging dan ikan, serta pewarna makanan (Erdogodul dan Azirak 2004).

Angkak dibuat dengan menginokulasi kultur Monascus purpureus pada campuran beras sosoh dan air, kemudian diinkubasi selama kurang lebih 14 hari. Setelah inkubasi selesai, beras dikeringkan dan dapat diolah menjadi produk olahan lainnya.

Proses fermentasi ini menghasilkan metabolit sekunder, seperti pigmen dan zat anti-hiperkolesterolemia. Pigmen angkak memiliki sifat sedikit larut dalam air dan kurang stabil terhadap panas. Banyaknya kandungan pigmen yang terbentuk, mengakibatkan angkak banyak digunakan sebagai pewarna alami untuk minuman dan makanan, seperti anggur merah, ikan, keju, dan olahan daging (Pattanagul 2007).

Zat anti-hiperkolesterolemia yang terbentuk adalah monakolin K atau lovastatin. Lovastatin dapat menghambat biosintesa kolesterol pada penderita hiperkolesterolemia. Ternyata, selama fermentasi terbentuk juga metabolit sekunder lain yang berbahaya, yaitu mikotoksin citrinin.

Apa itu citrinin?

Citrinin adalah mikotoksin hasil metabolit sekunder yang diproduksi oleh kapang jenis Penicillium, Aspergillus, dan Monascus (Xu et al. 2006).

Menurut Blanc (1995), spesies yang menghasilkan citrinin paling tinggi adalah M. ruber sebesar 370 mg/L pada media yang berisi sukrosa.

Citrinin pada awalnya dikenal dengan monacidin A yang bersifat sebagai antibiotik, bakteriostatik, antifungal, dan antiprotozoa. Namun, uji toksisitas menunjukkan bahwa citrinin memiliki sifat nefrotoksik dan hepatoksik karena menyebabkan kerusakan fungsi dan struktur ginjal, serta perubahan metabolisme di hati (Wang et al. 2014).

Citrinin terdapat secara alami pada biji-bijian, seperti barley, gandum, padi, dan jagung. Kandungan citrinin pada biji-bijian di Tunisia terdeteksi sebesar 0.001-0.17 mg/kg (Zaied 2012), serta barley di Czech 0.093 mg/kg (Polisenska, et. al 2010). Citrinin juga terkandung dalam produk fermentasi, seperti keju, sosis, dan angkak. Kandungan citrinin pada angkak umumnya sebesar 0.2-1.71 mg/kg (Triana 2015). Kandungan citrinin yang cukup tinggi pada bahan pangan dapat diturunkan dengan pemanasan dan pengurangan jumlah air.

Karakteristik citrinin adalah sbb:

ag-cn2-0101
Sumber: Google
  • Berat molekul 250.25 g/mol
  • Bersifat sangat asam
  • Titik leleh pada suhu 172 oC (Xu et al. 2006)
  • Dapat menyerap cahaya pada panjang gelombang 250 -331 nm (Xu et al. 2006)
  • Tidak larut dalam air, larut dalam larutan polar seperti: metanol, asetonitril, etanol, dll. (Deshpande 2002).

Tipe senyawa citrinin berdasarkan sifat toksiknya:

  • H301 toksik jika ditelan
  • H311 toksik jika kontak dengan kulit
  • H331 toksik jika terhirup
  • H351 diduga dapat menyebabkan kanker

Citrinin dapat menyebabkan efek ganda pada fungsi mitokondria yang berakibat pada kematian sel. Menurut Chagas et al. (1992), citrinin dapat menghambat aktivitas enzim 2-oxoglutarate dan pyruvate dehydrogenase pada korteks ginjal dan mitokondria hati. Hal ini akan mengakibatkan penurunan kadar Ca2+ pada matriks mitokondria yang berperan sebagai regulator pada berbagai proses fisiologis tubuh.

Citrinin juga dapat meningkatkan pembentukan oksigen reaktif dan menghambat kerja enzim antioksidan sehingga menimbulkan terjadinya stres oksidatif yang mendorong kematian sel (Ribeiro et al. 1997). Selain itu, citrinin dapat bereaksi sinergis dengan nefrotoksin-okratoksin A pada sereal, buah-buahan, daging, dan keju (Xu et al. 2006) yang dapat mengganggu rantai respiratori.

Wah, serem juga ya ternyata citrinin itu…

Regulasi mengenai citrinin di angkak ini belum banyak ditetapkan secara spesifik loh, terutama di Indonesia. Ini adalah beberapa negara yang telah mengatur batas maksimum citrinin dalam angkak:

  • Taiwan : produk Monascus sebagai perwarna <0.2 mg/kg, angkak sebagai bahan baku <5 mg/kg, dan produk olahan angkak <2 mg/kg.
  • Jepang : 0.2 mg/kg
  • European Food Safety Authority (EFSA) (2014) : NOAEL  0.02 mg/kg berat badan per hari dan maksimum citrinin pada suplemen angkak 2 mg/kg.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Kartika (2017), beberapa sampel angkak komersial yang dijual di daerah Jabodetabek memiliki kandungan citrinin sebesar rata-rata 7.30 ±  3.72 mg/kg. Bisa teman-teman ketahui bersama kadar citrinin yang dikandung melebihi regulasi yang ada. Peneltian ini juga menunjukkan bahwa tidak terdapat korelasi antara warna angkak dengan kadar citrinin yang dikandungnya. Dengan kata lain, kita tidak dapat membedakannya dengan mata telanjang.

Mungkin sekarang teman-teman bertanya-tanya bagaimana cara menghilangkan toksin tersebut pada angkak.

Berdasarkan studi literatur yang saya lakukan, citrinin tidak benar-benar dapat hilang dari angkak, namun dapat dikurangi dengan pemanasan dan kondisi fermentasi yang sesuai. Untuk detail informasi ini, teman-teman dapat membacanya sendiri pada jurnal-jurnal internasional, hehehe.

Well, sebenarnya ini adalah penelitian saya untuk tugas akhir S1.

Semoga bermanfaat 🙂

 

ps: Jangan mudah puas dengan informasi yang saya berikan ini, sebaiknya teman-teman mencari informasi yang lebih banyak dan lebih baik dari saya melalui jurnal-jurnal ilmiah lainnya.

Sumber:

Blanc PJ, Loret MO, Goma G. 1995. Production of citrinin by various species of Monascus. Biotechnology Letters. 17(3): 291-294.

Chagas GM, Oliveira MABM, Campello AP, Kluppel MALW. 1995. Mechanism of citrinin-induced dysfunction of mitchocondria. IV-effect on Ca2+ transport. Cell Biochemistry and Function. 13:53-59.

Deshpande SS. 2002. Handbook of Food Toxicology. New York (NY): Marcel Dekker, Inc.

[EFSA] European Food Safety Authority. 2014. Regards maximum levels of the contaminant citrinin in food supplements based on rice fermented with red yeast Monascus purpureus. Brussels: European Commission. [Internet] [diakses 20 Maret 2017] Tersedia pada: http://eur-lex.europa.eu.

Erdogodul O, Azirak S. 2004. Review of the studies on the red yeast rice (Monascus pupureus). Turkish Electronic Journal of Biotechnology. 2: 37-49.

Kartika G. 2017. Validasi metode dan penentuan kadar citrinin dalam angkak menggunakan instrumen LC-MS/MS. [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Pattanagul P, Pinthong R, Phianmongkhol, Leksawasdi N. 2007. Review of angkak production (Monascus purpureus). Chiang Mai Journal Science. 34(20); 319-328.

Polisenska I, Leszkowicz PA, Hadjeba K, Dohnal V, Denesova O, Jezkova A, Macharackova P. 2010. Occurrence of ochratoxin A and citrinin in Czech creals and comparison of two HPLC methods for ochratoxin A detection. Food Additives and Contaminants. 27(11): 1545-1547

Ribeiro SMR, Chagas GMC, Campello AP, Kluppel MALW. 1997. Mechanism of citrinin-induced dysfunction of mitochondria V. Effect on the homeostasis of the reactive oxygen species. Cell Biochemistry and Function. 15: 203-209.

Triana E, Yulinery T. 2015. Uji toksisitas citrinin yang dihasilkan oleh angkak hasil fermentasi berbagai isolat Monascus purpureus terhadap larva Artemian salina leach. Prosiding Seminar Nasional Masyarakat Biodiversitas Indonesia. 1(2): 283-288.

Wang W, Chen Q, Zhang X, Zhang H, Huang Q, Li D, Yao J. 2014. Comparison of extraction methods for analysis of citrinin in red fermented rice. Food Chemistry. 157: 408-412.

Xu BJ, Jia XQ, Gu LJ, Sung CK. 2006. Review on the qualitative and quantitative analysis of the mycotoxin citrinin. Food Control. 17: 271-285.

Zaied C, Zouaoui N, Bacha H, Abid S. 2012. Natural occurence of citrinin in Tunisian wheat grains. Food Control. 28(1):106-109.

 

 

Tinggalkan komentar